Selasa, 17 Juni 2014

CERPEN LAMA/ BACK IN TIME



Hal itu bertambah kuat
Terkunci di dalam kerinduan
Tak dapatkah aku melangkah kembali dalam waktu
Kembali ke waktu ketika kau memberikanku sebuah pelukan
Segalanya sekarang tidaklah penting
Aku mengikuti jalan berliku yang masih basah
Melihat kembali kepada ingatan kita bersama
Di dalam hujan yang mengaburkan pandangan, aku memikirkanmu
Dalam airmataku, kau bangkit dalam ingatanku.


(Trans Song: Lyn-Back In Time)


*****
            Suara decitan mobil itu masih jelas kudengar. Begitu nyaring dan memekakkan telinga. Begitu menyayat hatiku. Hari dimana menjadi hari paling menyakitkanku. Aku harus kehilangan dia.
            “Kamu sudah menunggu lama?” tanya sebuah suara padaku saat aku memandang jalanan di depan taman ini. Aku yakin aku hampir melotot melihatnya. Sosok itu berdiri di depanku. Tapi, bagaimana bisa? Dia.. Dia sudah mati.
            “Non.. Kok ngelamun sih?” tanyanya lagi padaku lengkap dengan sebutan 'Non' yang sering diucapkannya padaku.
            “Ya Allah.. Non.. Kita udah hampir telat nih. Film mau main setengah jam lagi. Jalan dari taman ke bioskop itu gak tinggal melangkah. Tapi musti ngelewati beberapa blok lagi.” katanya sekali lagi sambil meraih tanganku. Hangat. Tapi, apa yang terjadi? Aku merogoh kantong jaket panjangku dan melihat tanggal yang tertera. 15 Agustus 2012. Astaga, aku kembali ke tanggal ini? Bagaimana bisa? Aku sudah melaluinya dua hari yang lalu. Apakah Tuhan memberiku kesempatan untuk memperbaiki semua? Untuk menyelamatkannya. Dimas, kekasihku?
            Aku memandang jalanan yang kami lalui dengan bergandengan tangan. Aku ingat saat itu hangat tangan Dimas juga menarikku menuju gedung bioskop. Dan, aku ingat saat kami menyebrang jalan mobil sialan itu..
            “MasyaAllah Non.. Kenapa berhenti lagi? Kamu kenapa sih? Aneh banget?” tanya Dimas memandangku. Mampu kulihat jelas sosok itu. Kembali pandanganku ke arah gedung bioskop yang ada di seberang jalan sana.

            Kulihat ke kanan dan kiri jalan yang sepi dari kendaraan. Jika kami menyebrang, maka Dimas akan mati. Tanpa sadar aku melangkah terlebih dahulu menyebrang jalan. Dimas berjalan perlahan di belakangku. Aku melihat ke arah kanan dan mobil sialan itu benar-benar melaju ke arah kami. Lagi. Aku memandang Dimas dan menangis.
            “Non?”
            “Aku sayang kamu, Dimas..” lirihku sambil berlari menyongsong mobil itu. Meninggalkan Dimas yang terpaku di belakangku. Aku akan menyongsong mobil itu. Biarlah mobil itu menabrakku daripada menabrak Dimas. Aku tidak ingin Dimas mati.
            “Non!” pekik Dimas.
BRAK..
            Aku tak sanggup mengingat apapun. Yang terakhir kulihat, tubuhku terasa ringan dan terjatuh. Ada darah di tanganku. Ada banyak dan semua gelap. Aku mati.
*****
            Kumendengar suara isak tangis di samping tubuhku. Apa tangis mereka karena aku mati? Mungkinkah? Kurasakan sekujur tubuhku nyeri luar biasa. Aku berusaha membuka mataku perlahan. Berat namun secercah cahaya mulai memenuhi bola mataku yang akhirnya terbuka.
            “Nina!” teriak suara Mama memanggilku. Aku menoleh dan melihat wajah Mama di sampingku. Aku mengerjap dan menatap sekitarku. Dinding putih pucat. Aroma alkohol menyeruak.
            “Dimas..” entah kenapa aku menyebut memanggil nama Dimas.
            “Sabar ya, Nin.. Dimas sudah meninggal seminggu yang lalu.. Dia menyelamatkan kamu yang hampir tertabrak mobil. Dimas meninggal dan kamu yang terdorong ke trotoar, terbentur aspal jalan dan membuatmu koma seminggu ini..”
            Aku tidak mendengar jelas penjelasan dari Mama. Tapi, satu yang kutangkap. Dimas meninggal. Aku merasakan sesuatu yang padat tergenggam di tanganku. Cincin. Cincin Dimas.
*****
            “Non, ini cincin jaga ya? Ini kenangan buat kamu, Non. Asal kamu tahu. Tidak ada satupun manusia bisa menghindari Takdir. Sekalipun kamu berjuta kali mencoba mengulang waktu, takdir tidak bisa dirubah. Yang mati tetaplah mati. Yang hidup tetaplah hidup. Jangan menyesali kematian, Non. Semua itu hanya perpisahan sesaat. Lagipula, hidup itu milik Allah dan kelak akan kembali pada-Nya lagi. Bersabarlah, Non. Akan ada kebahagian sejati dibalik kesengsaraan.”
Aku kembali mengingat kata-kata itu. Kata-kata Dimas dalam mimpiku. Dia datang dalam mimpiku saat koma. Ya, aku ingat. Dia memberikan cincin itu padaku.  Kuseka air mata di pipiku sambil terisak di depan gundukan tanah makam Dimas. Dimas benar, aku sudah mencoba mengulang waktu untuk menyelamatkannya, namun takdir tetaplah sama. Meski aku hanya mengulang waktu sekilas saja, namun aku senang. Aku yakin, Dimas yang membawaku kembali agar menyadari tentang takdir yang tidak akan berubah. Tentang kematian.


--End--


Senin, 16 Juni 2014

Cerpen Lama (FF Kpop)-Tanpa editan tahun 2012/2013



ANGEL WITHOUT WINGS


“Ne.. bye..” seruku sembari menutup ponselku.
            Kutatap layar ponselku yang terpampang fotoku bersama dengan Yesung Oppa. Dia adalah kekasihku. Dia sangat baik dan romantis. Dia sedang ada di Jepang untuk mengurusi beberapa pekerjaannya. Dia baru saja meneleponku untuk memberitahukan jika dia akan pulang minggu ini.
            Aku meletakkan ponselku di atas ranjang dan kurebahkan pula tubuhku di atas ranjang. Sangat menyenangkan. Mendengarnya akan pulang.
“Bogoshipeo.. Oppa..” senyumku menatap langit-langit kamarku.

*****

Hosh...Hoshh..
            Aku setengah berlari menuju kantorku. Sesekali kulihat jam tanganku. Aissshhh... aku akan terlambat. Bodoh. Kenapa aku tertidur terlalu larut semalam. Aku terus berlari dan mengabaikan tumitku yang mulai sedikit perih karena sepatuku. Aku berbelok dengan tajam saat tiba di dekat sebuah Kafe dn sesuatu yang berat menabrak tubuhku. Aku terhentak ke belakang dan hampir terjatuh saat sebuah tangan sontak menahan punggungku.
“Oh...”
            Kulihat dihadapanku seorang pria dengan wajah tampan. Dia putih, tinggi, dia memiliki lesung pipi di kedua pipinya, dia memiliki senyum yang manis dan hidung mancung. Singkatnya, dia begitu tampan. Aku terdiam. Kami terdiam masih dalam posisi seperti orang yang tengah berdansa dimana sang pria menahan tubuh wanitanya yang terbentang 45 derajat kebelakang. Pokoknya, seperti itulah.
“Agasii.. Gwencanayo?” tanyanya dengan suara tegas namun begitu lembut.
“Oh..” sahutku sembari mengangguk kecil.
“Bisakah kau berdiri? Tanganku lelah menahan tubuhmu..”
“Oh..ne..” pekikku menyadari posisi kami.
            Aku berdeham sembari merapikan baju dan rambutku dengan gugup. Kulirik sekilas pria tersebut juga tengah merapikan setelan kemeja putih dan jas putihnya.
“Mianhamnida..” sahutku sembari menunduk meminta maaf.
‘Gwencana... orang selalu terburu-buru.. time is money..” seru pria itu dengan senyumnya yang menawan. Lagi.
“Oh.. ne..” selorohku singkat.
“Leeteuk imnida...” kata pria tersebut menyodorkan tangan putihnya.
“Eun Young imnida.. Lee Eun Young..” sahutku menjabat tangannya yang lembut. Astaga... pria macam apa dia?
“Kau sedang buru-buru?” tanyanya.
“Astaga!Aku terlambat!” pekikku sembari menepuk keningku, teringat keterlambatanku. “Mianhamnida.. aku buru-buru.. bye..” seruku melambai sembari kembali berlari menuju kantor.
“Hati-hati..” terdengar suara seruan dari Leeteuk untukku yang tak sempat kutanggapi.

******

            Aku menarik tubuhku kebelakang sembari menahannya dengan berpegangan pada tiang besi di balkon lantai tiga kantorku. Kunikmati angin sepoi yang berhembus menyapu rambut dan wajahku. Hari ini aku mendapat surat teguran atas keterlambatanku. Ah... sungguh menyebalkan..
“Kau terlalu memikirkan kepulangan kekasihmu itu..” seru Jin Min yang sudah berdiri di sampingku sembari menyerahkan segelas kopi padaku.
“Gomawo..” lirihku menerima kopi tersebut.
“Kapan Yesung kembali?” tanya Jin Min.
            Jin Min dan aku sudahberkawan sejak masih kecil. Dia juga sangat mengenal Yesung. Bahkan, bisa dibilang aku dan Yesung bisa bersama adalah karena Jin Min. Dia sangat baik hati. Beruntung aku memiliki sahabat sepertinya.
“Minggu ini..” sahutku menyeruput kopiku dengan perlahan.
“Dan kalian akan langsung bertunangan?” tanya Jin Min.
“Eum.. minggu depannya akan langsung diselenggarakan pestanya..” sahutku sembari mengangguk.
            Terbesit perasaan indah dan bahagia yang membaur dalam hatiku. Aku dan Yesung Oppa akan bersatu. Ini menyenangkan. Setiap hari aku akan menyediakan sarapan, menunggunya pulang, memeluknya setiap saat, merapikan jasnya sebelum dia berangkat ke kantor dan..
“Yaa! Kau memikirkan hal mesum, khan?” pekik suara Jin Min yang menyadarkanku dari lamunan.
“Anniya..” kataku mengelak.
“Mengakulah... wajahmu memerah dan kau terus tersenyum mencurigakan..” goda Jin Min.
“Aisshhh... jinja-ah..!” omelku sembari mendorong bahunya kecil.
            See! Jin Min adalah sahabat yang menyenangkan. Dia selalu memahamiku. Benar-benar menyenangkan hidupku. Memiliki keluarga bahagia, sahabat dan kekasih. Aku tidak ingin mengakhiri semuanya. Aku ingin terus menikmatinya. Besok. Besok lagi dan besok lagi dan seterusnya.

*****

            Aku tengah merapikan beberapa kertas di tanganku. Sangat sial karena mesin foto copy di lantai tiga tengah diperbaiki. Aku harus bergegas menuju kelantai lima untuk mengcopy semua ini sebelum rapat yang akan dimulai lima menit lagi. Bagus! Lima menit lagi. Saat tengah keluar dari lift dan sibuk merapikan kertas, sesuatu yang berat kembali menabrakku dan membuat semua kertas-kertas itu berserakan.
“Aiishh.. jinja-ah!” omelku sembari berjongkok memungut satu per satu kertas-kertas itu.
“Mianhe...” seru sebuah suara yang terdengar akrab dan sebuah tangan terulur membantuku memungut kertas-kertas tersebut.
            Aku mendongak dan terpana menatap sosok dihadapanku. Sosok yang membuatku kembali berdebar.
“Kau..” lirihku menatapnya.
“Annyeong..” sapanya sambil tersenyum menawan. Lagi. Leeteuk.
“Astaga.. hari ini aku benar-benar bersikap ceroboh..” lirihku sembari mengacak-acak poniku malu.
“Gwencana.. semua orang selalu sibuk..” lirih Leeteuk sembari menyerahkan beberapa kertas yang telah dipungutnya.
“Gomawoyo.. ah, sedang apa kau disini?” tanyaku sembari mengelus-alus tengkukku. Caraku untuk meredam rasa malu.
“Aku. Eum, ada seseorang yang harus aku awasi.” Kata Leeteuk.
“Oh, kau manajer?”
“Bukan.”
“Direktur?” pekikku sembari melotot lebar.
“Bukan.” Seru leeteuk sembari tertawa lebar. “Pokoknya, tugasku mengawasinya.” Kata Leeteuk.
“Oh, baiklah.. astaga! Aku buru-buru! Bye!” seruku sembari menunduk berpamitan pada Leeteuk.
“Ne.. hati-hatilah.” Kata Leeteuk yang lagi-lagi tak sempat kutanggapi. Terlalu sibuk saat ini.

*****

            Kurebahkan tubuhku di atas sofa ruang tamu tepat setelah aku tiba di rumahku. Rasanya begitu nyaman dan menyenangkan. Seharian ini aku mendapat banyak kesialan dan betapa melegakannya ketika aku sudah berada di rumahku sendiri.
“Eun Young-ah.. jangan tiduran di sofa, akan membuat punggungmu sakit.” Omel Oemma sembari menarik lenganku untuk duduk.
“Aku lelah, Oemma.” Keluhku sembari memeluknya.
“Sudahlah, cepat bersihkan dirimu. Mandi dan makanlah. Oemma sudah memasakkan makanan kesukaanmu.” Kata Oemma menepuk-nepuk lenganku lembut.
“Jinja? Aigo... saranghaeyo, Oemma..” pekikku sembari mencium pipi Oemma.
            Aku bergegas menuju kamarku. Aku meletakkan tas dan mengambil baju gantiku lalu memasuki kamar mandi dengan semangat. Lima belas menit aku berkutat dengan air, sabun dan shampo. Aku keluar dan merasakan kesegaran di tubuhku. Memang benar, melepas lelah yang ampuh adalah dengan mandi air hangat.

            Aku menyisir sesaat rambutku lalu bergegas menuju ruang makan. Kulihat Oemma dan Aboeji sudah duduk di kursi mereka. Mereka terlihat sengaja menungguku. Kutarik kursiku dan tersenyum pada mereka.
“Eun Young-ah.. setelah makan, bisakah kau ke supermarket sebentar? Oemma membutuhkan beberapa bahan membuat kue.” Kata Oemma padaku.
“Oemma, aku lelah.” Sahutku memelas.
“Jebal..” lirih Oemma.
“Ne.. arrasoe. Aku akan belanja.” Lirihku sedikit kesal.
            Aku memang sangat lelah, tapi tidak mungkin aku menolak permintaan Oemma. Aku tidak tega. Jadi, baiklah.. aku akan menurutinya.

*****

            Aku menutup pintu supermarket dan sekali lagi merogoh dan memeriksa belanjaanku di dalam kantong. Sepertinya semua bahan sudah aku masukkan. Benar. Saat tengah asyik, ponselku berdering nyaring. Aku merogoh kantong jaket panjangku dan menatap layar ponselku. Senyumku merekah menatap nomor yang tertera. Dengan semangat aku mengangkat panggilan tersebut.
“Oppa!” pekikku senang.
“Eun Young-ah.. aku sudah di rumahmu. Cepat kembali dari belanjamu!” seru Yesung Oppa.
“Ne?”
            Aku mulai mengingat ekspresi Oemma dan Aboeji yang aneh. Oemma yang memasakkan makanan kesukaanku dan Oemma yang tiba-tiba menyuruhku belanja malam-malam begini.
“Eun Young-ah..” panggil Yesung Oppa.
“Oppa! Kau merencanakan ini! Kau mau mengejutkanku! Kau berkomplot dengan Oemma, dengan Aboeji!” seruku dengan nada tinggi dan kudengar suara tawa dari Yesung Oppa.
“Aku ingin memberimu kejutan..” lirih Yesung Oppa.
“Arrasoe.. tapi..”

TIIIIIINN..

            Kata-kataku terhenti ketika mendengar suara klakson dan cahaya lampu yang menyorotku. Barulah aku tersadar sebuah truk besar tengah melaju ke arahku. Kakiku terasa terkunci tiba-tiba. Samar terdengar teriakan dari Yesung Oppa di ponselku. Aku masih begitu terpana menatap truk besar yang semakin mendekat itu.
            Aku memejamkan mataku ketakutan dan merasa tubuhku tersentak. Dan kemudian aku sudah terjatuh di tepi jalan.
“Arrgghh..” lirihku menahan sakit di lengan tangan kananku yang menatap trotoar.
            Aku menatap sekitarku dan melihat tubuhku sudah berada di tepi jalan. Truk yang menabrakku juga sudah berlalu menjauh. Ponselku hancur berantakan di tengah jalan dan belanjaanku berserakan di sampingku. Apa yang terjadi? Aku baik-baik saja?
“Gwencanayo?” tanya sebuah suara.
            Aku menoleh dan melihat seorang pria tengah menatapku.
“Leeteuk-ssi..” lirihku mengenali pria tersebut.
“Gwencanayo.. bangunlah..” lirih Leeteuk sembari menolongku untuk bangkit berdiri.
“Gomawoyo..” lirihku bergetar. Rasa tegang tadi masih terasa di sekujur tubuhku.
“Ayo, aku antar kau pulang..” lirih Leeteuk menawarkan bantuan.
“Eum..” lirihku sembari mengangguk.
            Aku dan Leeteuk berjalan perlahan berdampingan. Leeteuk terus menatapku dan membuatku sangat gugup.
“Gwencana.. jangan menatapku seperti itu terus..” kataku sembari mencoba melontarkan senyum.
“Ah, mianhe..” sahut Leeteuk.
“Ne..” sahutku.
            Kami berjalan berdampingan dalam keheningan. Entah kenapa aku merasa hawa menjadi lebih dingin dari sebelum aku berangkat tadi. Aku kembali teringat dengan Yesung Oppa. Apa dia mendengar suara klakson itu? Apa dia khawatir? Ponselku sudah hancur. Ah, rumahku hanya tinggal satu blok lagi. Aku yakin Yesung Oppa tidak akan terlalu cemas.
“Apa kau sangat mencintai kekasihmu?’ tanya Leeteuk memecah lamunanku.
“Eum.. sangat.” Sahutku gugup. Aneh, kenapa dia tiba-tiba menanyakan hal itu.
“Keluargamu?Kau juga menyayangi mereka?”
“Tentu. Tentu saja. Kenapa kau bertanya begitu?” tanyaku.
“Jika saja tadi kau mati. Apa yang akan kau lakukan?”
“Apa? Jika aku mati tadi? Aku tidak melakukan apapun. Justru, Orang tua dan Yesung Oppa yang akan bersedih.” Jawabku perlahan. Dia semakin bertanya yang aneh-aneh.
“Oh.. rumahmu yang ada di depan itu, khan?” tanya Leetuk menunjuk suatu arah.
            Benar itu dia rumahku. Yesung Oppa dan Orang tuaku berdiri di luar. Sepertinya mereka khawatir. Aku harus bergegas kesana.
“Benar. Ayo cepat! Sepertinya mereka cemas.” Seruku menarik tangan Leeteuk.

            Aku berlari bahagia menghampiri Yesung Oppa.
“Oppa!” teriakku memanggil Yesung Oppa.
            Yesung Oppa berbalik dan menatapku. Sungguh akusangat merindukan wajah itu. Dia menatapku dengan sedih? Dia sama sekali tidak tersenyum padaku. Aneh. Ini aneh.
“Oppa...” lirihku semakin mendekatinya.
“Jin Min-ah..” lirih Yesung Oppa sembari menitikkan air matany.
            Aku terhenti seketika. Jin Min? Aku berbalik dan melihat Jin Min tengah berjalan ke arah kami. Jin Min juga terlihat seperti tengah menangis. Dia berjalan melewatiku. Salah, menembusku..
“Yesung-ssi.. Bagaimana ini terjadi? Bagaimana bisa? Eun Young-ah..” tangis Jin Min dalam pelukan Yesung Oppa.
            Aku berbalik menatap mereka yang tengah menangis. Orang tuaku juga menangis sesenggukan. Apa yang terjadi? Bagaimana Jin Min menembus tubuhku? Apa aku sudah mati? Truk besar itu..
“Eun Young-ah..” lirih Leeteuk.
            Benar! Aku berbalik dan menatap Leeteuk yang tengah memandangku. Dia bisa melihatku. Leeteuk bisa melihatku.
“Apa yang terjadi?” tanyaku sembari mulai menangis.
“Kau sudah mati..” lirih Leeteuk.
“Tapi.. kau bisa melihatku. Siapa kau?” tanyaku.
“Orang menyebutku Angel Without Wings.. aku yang menjemputmu..” lirih Leeteuk.
            Aku menutup mulutku tidak percaya. Kata-kata Leeteuk tadi siang terngiang kembali. Dia tengah mengawasi seseorang. Seseorang itu adalah.. aku.
“Tidak.. Tidak.. Tidak! Tidak!” jeritku sembari terjatuh lunglai di trotoar jalan.
“TIDAK!”

-Fin-

Novel Horor Pertama #MementoMori



MEMENTO MORI : INGAT MATIMU!

Penerbit : Mediakita
Edisi : Soft Cover
Penulis : Far Choinice

Sinopsis Buku:

Teror dua tahun yang lalu datang menghantui Ayumi. Bahkan, lebih mengerikan dari sebelumnya. Terlebih lagi, nyawa dua orang yang paling ia sayangi menjadi taruhannya! Kini, tak ada cara lain bagi Ayumi selain mencari kepingan memori masa lalunya dan membukanya, untuk menyingkap kenyataan peristiwa menyedihkan dua tahun yang lalu itu.

***

"Seperti apa yang kalian katakan padaku dulu... seperti apa yang selalu kalian katakan sebagai slogan kalian. Memento mori...."